
Beberapa waktu lalu, aku memutuskan untuk belajar bahasa Jepang. Bukan karena pekerjaan, akan melanjutkan pendidikan dalam waktu dekat, atau ada agenda apapun, tapi karena ingin aja. Mungkin yang bikin lebih heran, di usia 30-an ini, di tengah rutinitas dan tuntutan hidup, aku justru memilih untuk mempelajari sesuatu yang benar-benar baru dari nol. Bahasa asing pula.
Mungkin banyak yang bilang kalau belajar bahasa lebih baik dilakukan sejak kecil. Aku pun mengakui, saat belajar kosakata atau pola kalimat, seringkali rasanya lambat. Daya ingat saat ini jelas bukan seperti waktu umur belasan atau dua puluhan tahun, apalagi dibanding anak-anak yang bisa menyerap kata baru dalam waktu singkat. Tapi, aku tetap menikmati prosesnya, bahkan sejujurnya nggak ambil pusing soal hal ini.
Awal Mula Belajar Bahasa Jepang
Perjalanan ini dimulai karena aku dapat kursi ikut ujian JLPT N5 untuk bulan Juli. Bulan Maret lalu memang sedang ramai-ramainya info pendaftaran ujian JLPT. Aku yang awalnya hanya mengamati, jadi ingin ikutan daftar. Padahal belum ada rencana sama sekali belajarnya bagaimana. Tapi, karena ternyata aku berhasil mengamankan tiket ujian JLPT, akhirnya perjalananku belajar bahasa Jepang harus dimulai. Aku nggak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Sebab, ujian JLPT hanya dibuka 2 kali dalam setahun dan pendaftarnya sangat banyak!

Kalau ditanya motivasinya apa, awalnya aku cuma ingin bisa bahasa Jepang aja. Adapun keinginan tinggal di Jepang, aku pikir ini masih khayalan aja haha. Tapi, seiring dengan proses belajar, motivasi mempelajari bahasa Jepang semakin membesar. Aku jadi merasa ingin bisa menonton anime atau dorama tanpa subtitle terjemahan hingga muncul keinginan suatu hari bisa pergi ke Jepang walau untuk traveling dan sudah bisa menggunakan bahasanya dengan baik.
Selain motivasi itu, aku pun kemudian semakin menyadari bahwa mempelajari bahasa dan budaya negara lain ternyata sangat menarik, aku seperti menemukan dunia baru yang nggak bisa aku lihat dari sudut pandang aku sebagai orang Indonesia. Benar-benar harus jadi gelas kosong, seperti bayi yang baru belajar hidup. Sekarang aku punya pandangan baru bahwa belajar bahasa asing bukan cuma soal hafalan kata dan aturan tata bahasa. Ada sesuatu yang lebih dalam, semacam jendela ke budaya lain, dan cara berpikir yang berbeda.
Pelajaran yang Sangat Menantang
Belajar di usia dewasa punya tantangannya sendiri. Bukan cuma soal memori, tapi juga waktu dan banyaknya kegiatan. Setelah bekerja seharian dan harus meluangkan waktu untuk pekerjaan sampingan, kadang rasanya lebih ingin rebahan daripada buka buku Minna no Nihongo, menulis kanji, atau mengikuti kelas kursus. Tapi justru karena itu, setiap kali berhasil menyelesaikan satu bab atau mengikuti kelas dari awal hingga akhir, rasanya seperti pencapaian kecil yang patut dirayakan.
Seringkali aku juga membagikan perjalananku belajar bahasa Jepang di WA Story. Mungkin terlihat bersemangat dan sangat menyenangkan. Padahal, di balik itu juga ada rasa frustasi karena belajar bahasa asing menantang sekali. Apalagi ketika menjelang ujian di kursus yang aku ikuti, dan sekarang ini menjelang ujian JLPT.
Rasa frustasi ini muncul saat aku lupa arti kata yang baru saja kupelajari kemarin, merasa nggak ngerti-ngerti juga cara pakai partikel atau bedain partikel “に” dan “で”, bahkan yang paling berat bagiku ketika aku sudah berusaha mempelajari kosakata dan partikel untuk persiapan kaiwa, namun saat ujian dimulai tiba-tiba kepalaku kosong, nggak bisa menjawab apa yang ditanyakan sensei. Jujur rasanya sedih banget. 🥲

Tapi seiring berjalannya waktu dan proses ini, aku mulai berdamai pelan-pelan. Aku belajar untuk sabar dengan segala prosesnya dan berusaha untuk tetap konsisten belajar, meskipun kadang rasanya ingin menyerah. Aku jadi memahami bahwa aku nggak cuma belajar materi bahasa, tapi juga belajar untuk pelan-pelan menenangkan diri. Semua orang punya kecepatan dan tantangannya masing-masing. Dan yang paling penting, aku belajar bukan untuk berlomba, tapi aku belajar untuk mengisi ruang dalam diriku yang selama ini aku abaikan.
Pelan, tapi Konsisten
Satu hal yang menyelamatkanku dari rasa ingin menyerah adalah konsistensi. Bukan berarti aku belajar setiap hari setiap waktu tanpa henti, karena sebenarnya pun aku bukan orang yang disiplin. Tapi aku belajar untuk tetap terus bangkit dan berjalan walau lambat saat rasanya frustasi dan sedih karena cukup sulit mempelajarinya.
Aku cuma perlu melakukannya secara konsisten, sekecil apa pun bentuknya. Jadi, aku pun mulai membentuk kebiasaan kecil, seperti belajar pasif lewat mendengarkan lagu atau podcast Jepang dan mulai mencoba memahami apa arti serta maknanya, menulis sticky note dengan kosakata yang perlu aku hafalkan di dinding bilik kerjaku, menyimpan catatan di hp, maupun belajar aktif mulai dari hal sederhana cuma belajar beberapa menit hingga kadang bisa satu jam penuh atau lebih.

Belajar, khususnya belajar bahasa, bukan sprint, tapi maraton. Pelan-pelan, tapi konsisten, stabil, sesuai ritme. Termasuk dalam menjaga semangat, nggak perlu terlalu keras pada diri sendiri.
Nggak Pernah Ada Kata Terlambat buat Belajar
Aku pernah mikir kalau belajar bahasa asing di usia 30-an itu konyol karena anggapan orang-orang bahwa di usia ini sudah sulit menyerap bahasa baru. Sekarang aku merasa bersyukur sudah berhasil memulainya. Jujur, sudah lama sekali aku ingin belajar bahasa asing, tapi nggak mulai-mulai dan nggak terasa sudah lewat bertahun-tahun lalu. Meskipun sekarang masih tahap dasar, masih sering salah, dan masih gugup saat harus ngomong, setidaknya aku tahu bahwa aku sedang bergerak ke arah yang kuinginkan. 😊
Kita sering mematok batas usia untuk banyak hal. Merasa bahwa kalau nggak dimulai sejak muda, ya sudah, kesempatan lewat. Tapi, aku selalu percaya bahwa belajar bukan soal usia. Belajar adalah tentang memberi diri kita kesempatan untuk berkembang dengan cara dan ritme kita sendiri. Aku pun meyakini apapun yang kita pelajari tidak akan menjadi sia-sia.

Aku saat ini memang masih kesulitan membedakan beberapa partikel, masih gugup kalau harus bicara, dan masih suka terdiam saat coba baca bacaan huruf Jepang tanpa furigana. Tapi, aku sudah bisa membaca dan menulis hiragana dan katakana, mengenali dan bisa menulis beberapa kanji dasar, serta mulai memahami beberapa pola kalimat dasar. Nggak ada yang sia-sia sekecil apapun itu. ✨
Di usia ini, rasanya kita sering menahan diri karena merasa “udah nggak cocok”, “udah nggak waktunya”, atau “nggak sepenting itu”. Nggak, nggak ada kata terlambat untuk belajar. Bahkan kalaupun nanti aku nggak pernah jadi mahir, setidaknya aku sedang memberi ruang untuk diriku tumbuh. Bukankah itu yang terpenting? 🌱