Press ESC to close

Ghost of Tsushima, Game-Induced Tourism dan Diplomasi Budaya Jepang

Salah satu hal paling menyenangkan dari bermain game adalah ketika aku larut masuk ke dalam dunia yang asing, tapi terasa akrab secara emosional. Dari semua game yang pernah aku mainkan, Ghost of Tsushima jadi salah satu pengalaman yang paling membekas, bukan cuma karena gameplay-nya yang sangat menarik, tapi juga karena game ini memperkenalkan aku dengan Jepang lewat akar budaya dan sejarahnya.

Menariknya, pengalaman bermain Ghost of Tsushima ternyata memicu fenomena dan dampak yang lebih besar, yaitu adanya diplomasi budaya lewat media interaktif, termasuk memunculkan wisata sesungguhnya secara nyata ke pulau Tsushima di Jepang yang sebelumnya nyaris nggak dikenal dunia. Fenomena ini dikenal sebagai game-induced tourism.

Gimana bisa sebuah video game buatan game developer Amerika justru jadi “duta budaya” yang sangat efektif untuk Jepang?

Game Sebagai Medium Budaya, Saat Fantasi Didekatkan dengan Realitas

Waktu Sucker Punch mengembangkan Ghost of Tsushima, mereka bukan sekadar bikin game RPG biasa atau hanya aksi samurai belaka. Menurut wawancara yang pernah dilakukan oleh Polygon dengan Brian Fleming, Co-Founder Sucker Punch, game developer ini benar-benar mendalami riset sejarah, konsultasi sama ahli budaya Jepang, mengunjungi ke lokasi terjadinya sejarah, dan mengulik berbagai aspek kehidupan Jepang pada abad ke-13. Walaupun cerita dan karakternya fiksi, banyak elemen dalam game seperti kuil (shrine), lanskap pedesaan, samurai, sampai nilai-nilai bushidō, semuanya punya akar yang diambil dari dunia nyata (non-fiksi).

Hal tersebut menurutku memberi pengalaman yang kaya saat bermain game-nya. Aku jadi ikut mempelajari sejarah Jepang sampai memunculkan rasa respect terhadap budaya Jepang. Bahkan fitur Kurosawa Mode, yang mengubah visual jadi hitam-putih kayak film klasik Akira Kurosawa (seorang sutradara terkemuka dari Jepang yang terkenal dengan karya film berkonsep warna hitam putih), kerasa seperti bentuk penghormatan terhadap seniman Jepang, bukan hanya sekadar fitur tambahan atau gimmick saja.

Connell (Sucker Punch art director) said it wasn’t just a standard black-and-white filter, either – he analyzed scenes from samurai films to see how dark the blacks were and how bright the whites were in a range of time-of-day and weather conditions, then replicated that in the game. On top of that, Kurosawa Mode adds a film grain effect to the display, and it even alters the audio so it sounds more like an old recording using ’50s technology. Oh, and the wind is stronger in Kurosawa Mode, because Kurosawa loved some good wind. (source)

Dari beberapa tulisan yang aku baca, hal ini justru jadi kekuatan utama game ini, yaitu memperkuat citra budaya Jepang di mata dunia lewat video game. Buat banyak orang, Ghost of Tsushima jadi pintu masuk buat mengenal sejarah Jepang, memahami nilai-nilainya, dan bahkan memunculkan keinginan untuk datang langsung ke tempatnya. Inilah bentuk baru diplomasi budaya Jepang, lewat interaksi media populer.

Baca Juga  Berkenalan dengan Yuffie Kisaragi di Final Fantasy VII Remake Intermission

Dari Dunia Virtual ke Pulau Tsushima yang Nyata

Beberapa bulan setelah Ghost of Tsushima rilis, terjadi hal menarik. Banyak pemain yang mulai penasaran, apakah tempat-tempat di dalam game ini benar-benar ada? Pulau Tsushima, yang jadi latar utama dalam game adalah tempat nyata yang berada di Prefektur Nagasaki, Jepang.

Karena popularitas game yang semakin naik, muncul gelombang minat wisata baru. Banyak pemain yang ingin mengunjungi lokasi-lokasi ikonik seperti Komoda Beach, Bukit Ariake, atau Watazumi Shrine yang muncul di dalam game. Bahkan, situs pariwisata resmi Prefektur Nagasaki, Jepang bikin halaman khusus dengan tema Ghost of Tsushima yang menghubungkan lokasi nyata dengan scene dalam game.

Menurutku, munculnya fenomena dari bermain video game menjadi berkunjung ke dunia nyata (game-induced tourism) adalah bukti konkret bahwa dunia virtual bisa menggerakkan realita. Nggak cuma sekadar nostalgia atau mengumpulkan foto lanskap yang aestetik dan ‘medsos-able‘, tapi juga ada keterikatan emosional. Bahkan komunitas penggemar Ghost of Tsushima pernah melakukan penggalangan dana hingga ratusan ribu dolar untuk memperbaiki Watazumi Shrine yang sempat rusak akibat dihantam badai topan. Dari main game, ternyata bisa memantik para gamers untuk berkontribusi nyata buat pelestarian budaya Jepang.

Respon Pemerintah dan Komunitas

Melihat antusiasme global, pemerintah lokal Tsushima juga nggak tinggal diam. Walikota Tsushima bahkan mengangkat dua kreator utama Ghost of Tsushima sebagai duta pariwisata permanen Pulau Tsushima. Tentu saja ini bukan hal biasa. Biasanya, duta wisata yang ditunjuk langsung oleh pemerintah berasal dari artis terkenal, influencer, atau tokoh lokal. Tapi di sini, justru developer game asal Amerika yang dianggap berjasa memperkenalkan sejarah dan budaya Tsushima ke dunia.

Baca Juga  Review Steelseries Arctis Nova 1, Gaming Headphone Multiguna

Prefektur Nagasaki juga aktif mengemas konten wisata digital, termasuk membuat peta interaktif dan rekomendasi lokasi yang cocok dikunjungi oleh para gamers yang ingin napak tilas cerita game-nya secara langsung di Pulau Tsushima. Inisiatif yang dilakukan oleh pemerintah Jepang menjadi salah satu bentuk promosi wisata berbasis budaya digital yang menurutku strategis.

Website Prefektur Nagasaki dengan tema Ghost of Tsushima
Spot-Real Tsushima, Website Prefektur Nagasaki dengan tema Ghost of Tsushima

Tapi, nggak semua efek dari wisata berbasis game ini positif. Popularitas yang melonjak juga membawa masalah. Watazumi Shrine pada Maret 2025 mengumumkan menutup seluruh kunjungan wisatawan karena banyak turis (yang mungkin awalnya cuma fans game kemudian seiring terkenalnya kuil ini jadi ramai dikunjungi wisatawan umum) melakukan pelanggaran keras yang bahkan dianggap “unforgiveable” atau tidak bisa dimaafkan karena tidak menghormati kesakralan tempat itu.

Masalah ini tentu jadi pengingat keras buat kita semua bahwa budaya bukan sekadar objek visual yang bisa difoto atau bahkan dirusak lalu ditinggal. Budaya adalah warisan hidup yang harus dihormati dan dijaga dengan baik.

Game sebagai Jembatan Diplomasi Budaya

Bagiku Ghost of Tsushima itu bukan cuma game yang bagus secara teknis dan artistik. Alur cerita yang diangkat dari budaya dan sejarah negara Jepang itu jadi model baru diplomasi budaya berbasis media interaktif. Game ini nggak cuma ngajarin budaya lewat dialog percakapan yang muncul antar karakter, tapi juga lewat pengalaman emosional yang personal, lewat pilihan-pilihan dalam melakukan aksi, konflik batin, dan keindahan visual yang mengakar pada sejarah.

Dari sisi strategi, Jepang berhasil banget bergerak cepat untuk memanfaatkan momentum ini. Hal lain yang juga sangat menarik adalah kontribusi organik dari komunitas gamers global, yaitu melakukan penggalangan dana sampai kunjungan wisata secara langsung ke Pulau Tsushima di Prefektur Nagasaki, Jepang, yaitu pulau terpencil yang gak banyak dikenal sebelum Ghost of Tsushima rilis

Banner di website www.discover-nagasaki.com
Banner di website www.discover-nagasaki.com

Seandainya jika Indonesia juga bisa punya game seperti ini, mungkin bisa kita bayangkan petualangan epik di masa sejarah seperti era kerajaan zaman dulu semacam Majapahit atau kisah lokal legenda daerah di dalam sebuah game.

Selain pastinya bikin bangga karena buatan dari game developer lokal yang mengangkat nilai-nilai sejarah serta budaya nusantara, game ini juga bisa jadi alat diplomasi budaya yang memperkenalkan Indonesia di mata dunia. Bisa jadi banyak gamers atau orang-orang di luar sana yang jadi tertarik, belajar, bahkan datang langsung ke lokasi-lokasinya ke Indonesia, yang mana jadi peluang untuk berbagai sektor, salah satunya adalah pariwisata.


Kesimpulan

Ghost of Tsushima membuktikan bahwa video game bukan cuma hiburan. Game ini berhasil jadi jembatan diplomasi budaya, alat promosi pariwisata, bahkan gerbang keterlibatan emosional antara gamers dan budaya Jepang. Menurutku ini jadi salah satu bukti nyata bahwa media interaktif kini jadi soft power yang kuat dan efektif. Termasuk video game yang ternyata bisa berdampak besar karena gamers turut terlibat secara aktif dalam media tersebut dan menghabiskan waktu puluhan hingga ratusan jam menyelami dunia permainan dalam video game sehingga memunculkan keterikatan secara emosional.

Baca Juga  Mengenal Analisa Gamifikasi 'Octalysis Framework' oleh Yu-Kai Chou

Kalau ada orang yang bilang bahwa game itu cuma buang-buang waktu… mungkin karena belum ketemu game yang bisa mengubah cara pandangnya terhadap dunia. Karena kadang, lewat layar monitor, kita bisa lebih dekat dengan realitas yang jauh dan membuka pandangan baru bahwa game ternyata memiliki dampak yang jauh lebih besar dari sekadar kepuasan bermain.