
Ada sebuah fenomena menarik yang aku perhatikan dalam dunia game dan realita: industri game, secara nggak sadar, sudah menjadi agen pariwisata yang efektif. Bukan pemerintah, bukan travel influencer dengan jutaan pengikut yang mempromosikan destinasi wisata. Tapi, developer game yang mungkin awalnya hanya fokus membuat permainan, namun ternyata secara tidak langsung menjadi promotor suatu destinasi wisata yang menarik bagi gamers.
Kedengarannya aneh, tapi sebenarnya sangat logis. Ini bukan lagi soal hobi, tetapi lebih dari itu mengenai studi kasus tentang bagaimana sebuah produk digital bisa menciptakan permintaan nyata di dunia fisik. Sebuah pengingat bahwa di era digital, koneksi atau keterikatan emosional adalah komoditas yang paling berharga.
Mekanisme Psikologis Sederhana: Dari Piksel Menuju Realita
Fenomena yang terjadi dari video game ini bikin mikir, kenapa sebuah video game bisa lebih persuasif menarik kunjungan wisata padahal nggak ada dukungan pemasaran atau iklan yang berkaitan dengan pariwisata? Jawabannya bisa jadi ada pada interaktivitas.
Film membuat kita jadi penonton, video game menjadikan kita pemain. Keterlibatan kita dalam sebuah media tentu berkaitan dengan adanya faktor psikologis. Kalau ditelusuri, ada tiga tahap psikologis yang bisa memicu ketertarikan pemain untuk berkunjung secara langsung ke tempat game yang ia mainkan:
- Menciptakan rasa ‘kehadiran’ (presence). Video game modern dirancang untuk menarik kita masuk sepenuhnya ke dalam dunia virtual. Setelah puluhan atau hingga ratusan jam “hidup” di sebuah lokasi virtual, otak kita mulai membentuk ilusi kehadiran. Tempat itu bukan lagi sekadar aset 3D, tapi sebuah ruang dengan memori.
- Membangun keterikatan tempat (place attachment). Sebab kita merasa hadir di dunia virtual itu, kita jadi peduli dan memiliki keterikatan yang kuat. Kita ikut membela suatu wilayah dalam peperangan, kita hafal jalan tikus di sebuah kota, kita kenal dengan para NPC (non-player character) atau tokoh-tokoh yang muncul di dalam video game. Lokasi itu menjadi bermakna secara personal. Kita jadi punya “rasa memiliki”.
- Memicu niat berkunjung. Ini adalah konversi logisnya. Ketika sebuah tempat sudah punya makna yang kuat, keinginan untuk melihat wujud fisiknya muncul. Perjalanan itu bukan lagi liburan biasa, tetapi menjadi semacam ziarah untuk memvalidasi pengalaman virtual kita dan mewujudkannya sebagai realita yang tentu akan memberikan sebuah pengalaman tak terlupakan.
Pada intinya, video game memang nggak menjual destinasi. Video game membangun koneksi atau keterikatan secara psikologis. Munculnya keterikatan dari video game yang kita mainkan, ternyata bisa aja kita mengunjunginya secara nyata; dari kepingan kaset PS atau file download game berubah menjadi koper dan tiket pesawat.
Media sebagai Pemicu Daya Tarik Wisata
Berbicara soal ‘keterikatan emosional’ dan ‘rasa kehadiran’ ini mungkin terdengar agak abstrak. Tapi sebenarnya, ada landasan akademis yang kuat di baliknya. Fenomena ini dapat mengacu pada media-induced tourism, sebuah cabang yang lebih spesifik dari contents tourism yang dipopulerkan di Jepang [1]. Konsep ini pada dasarnya menjelaskan bagaimana ‘konten’ (film, anime, game) bisa menciptakan motivasi untuk berziarah ke lokasi nyata.
Dulu aku pernah melakukan penelitian sederhana untuk tugas kampus terkait media-induced tourism ini, tapi waktu itu berkaitan dengan media film atau film-induced tourism. Kalau kamu pernah nonton Ada Apa dengan Cinta 2 (AADC2), pasti nggak asing dengan Gereja Ayam yang sempat booming karena jadi lokasi wisata film itu. Nah, kurang lebih kasusnya sama dengan game-induced tourism karena film dan video game masih sama-sama bagian dari media.
Lebih dalam lagi, keterlibatan mekanisme psikologis turut dijelaskan oleh teori kehadiran (Presence) dan keterikatan tempat (place attachment) [2, 3]. Presence adalah perasaan kita sebagai pemain ‘berada di lokasi dalam video game’ yang imersif saat kita bermain, sementara place attachment adalah ikatan emosional yang terbentuk setelahnya. Jadi, apa yang kita rasakan itu nyata dan bisa dijelaskan secara ilmiah.
Keberhasilan Video Game Menarik Wisatawan
Keberhasilan video game yang menarik kunjungan wisatawan sebenarnya sudah ada ada contoh nyatanya, baik yang terencana maupun yang timbul atau tumbuh secara organik alias ‘nggak sengaja’ narik wisatawan.

- Ghost of Tsushima (Jepang): Kalau kamu suka banget main RPG, pasti sudah nggak asing dengan game satu ini. Termasuk aku 😋 Berlatarkan cerita sejarah Jepang pada zaman periode Kamakura (tahun 1274), game ini nggak hanya membuat Pulau Tsushima menjadi menarik sebagai tujuan wisata bagi para gamers, tapi juga menggerakkan sebuah aksi nyata. Saat sebuah kuil di sana rusak karena badai topan, komunitas gamers global menggalang dana dan berhasil mengumpulkan +500% dari target, yang awalnya $5,000 menjadi $260,000. Fandom digital secara harfiah ikut terlibat merekonstruksi warisan budaya fisik. Bahkan, saking semakin dikenalnya wilayah ini, pemerintah Prefektur Nagasaki secara terbuka menunjuk Nate Fox dan Jason Connell dari Sucker Punch Productions (game developer GOT) sebagai duta pariwisata permanen Kota Tsushima, Nagasaki, Jepang.
- Seri Assassin’s Creed (Global): Kalau video game satu ini bisa dibilang studi kasus jangka panjang. Waralaba video game Assassin’s Creed secara efektif menciptakan turis yang lebih “siap”. Soalnya, banyak pemain yang pasti sudah merasa familiar dengan tata letak kota Florence, Paris, atau di beberapa wilayah Irlandia, atau bahkan sebelum menginjakkan kaki di daerah-daerah tersebut karena sudah diajak berkeliling di dalam game. Menarik ya, bagaimana ketika kita belum pernah sama sekali mengunjungi negara tersebut tapi justru sudah familiar dengan letak lokasinya hanya dari bermain video game. Soal game satu ini, sebenarnya sudah banyak banget dibahas dalam penelitian, salah satunya mengambil studi kasus Assassin’s Creed: Unity tentang bagaimana pemainnya memberikan persepsi tentang image destinasi wisata dan ketertarikan ingin mengunjunginya.
- Artnia, Kafe Square Enix (Jepang): kalau contoh satu ini adalah bentuk dari dampak video game terhadap amenitas, atau fasilitas maupun layanan dalam sebuah destinasi wisata. Berbeda dari contoh sebelumnya yang mengambil contoh dari video game, kalau satu ini adalah contoh di mana perusahaan video game secara sadar memonetisasi fandom menjadi destinasi fisik. Aku melihat Artnia bukan sekadar kafe di Jepang, tapi sebuah “situs ziarah” untuk para fans Final Fantasy dan Dragon Quest, mungkin aku salah satunya kalau punya kesempatan ke Jepang juga akan ikut mampir ke sana haha. Ini adalah bukti nyata bahwa ada pasar yang kuat untuk pariwisata yang berpusat pada properti intelektual.
Fenomena Video Game dan Pariwisata di Indonesia
Di Indonesia, fenomena video games yang berdampak pada pariwisata sebetulnya sudah mulai terjadi. Kita bisa melihat kemunculannya dari dua jalur yang menarik untuk dianalisis, yaitu top-down dari pemerintah dan bottom-up dari para kreator.
- Jalur Top-Down: Langkah Kemenparekraf menggandeng PUBG Mobile untuk peta “Nusa” yang terinspirasi Bali menjadi contoh pendekatan korporat. Tujuannya jelas, yaitu menjangkau audiens massal dan menanamkan citra destinasi secara repetitif. Lalu, apakah efektif? Untuk brand awareness, bisa saja. Tapi, secara konversi kunjungan wisatawan ke Bali dari game ini belum tentu. Sebab, target audiens dalam sebuah game juga harus diperhatikan apakah tepat sasaran untuk konversi hingga mengunjungi langsung ke destinasi tersebut atau cukup sebagai awareness.
- Jalur Bottom-Up: Di sinilah keajaiban sebenarnya terjadi. Video game seperti DreadOut dan Pamali berhasil “mengekspor” mitologi lokal kita bukan sebagai produk wisata, tapi sebagai pengalaman budaya yang otentik. Satu hal yang paling menarik adalah A Space for the Unbound. Game ini tidak hanya menjual pemandangan, tapi juga “rasa” yang timbul saat memainkannya. Dengan menangkap atmosfer Indonesia pada tahun 90-an, video game ini memicu nostalgia. Aku kayaknya pernah dengar ada para fans yang sampai membuat tur sendiri ke lokasi inspirasinya di Surabaya, tapi sayang setelah aku coba telusuri belum menemukan beritanya. Kalau memang beneran ada, wah bisa jadi bentuk konversi organik dan bisa jadi inspirasi untuk pengembang video game atau bahkan pelaku pariwisata lain.

Jadi, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Melihat semua potensi ini, pertanyaannya bukan lagi “apakah ini mungkin?“, tapi “bagaimana kita bisa mengoptimalkannya?“. Kita sudah bisa lihat bahwa video game bukan lagi sekadar sebuah media untuk bersenang-senang, tapi juga bisa memberikan dampak positif bagi sebuah negara; mengenalkan kita di mata dunia, termasuk menarik minat para gamers mengunjungi objek wisata secara langsung atau mengubah gamers menjadi wisatawan. Menurutku, setiap pihak punya peran masing-masing yang bisa dilakukan.
- Pemerintah: Peran pemerintah tentu bukan sebagai kreator, tapi fasilitator yang bisa fokus pada penciptaan ekosistem. Buat inkubator atau grant khusus untuk developer yang proyeknya punya potensi promosi budaya. Permudah regulasi, menjembatani studio game lokal dengan dinas pariwisata daerah. Saat ini Kemenekraf sudah mulai sering bergerak mendukung game lokal, terlihat dari banyaknya kegiatan dan kolaborasi antara Kemenekraf dengan pelaku industri game lokal. Rasanya ikut senang dengan inisiatif ini karena memunculkan harapan bagi para game developer lokal untuk ikut bersaing menciptakan game yang nggak kalah keren dengan game buatan luar negeri.
- Pelaku Pariwisata: Seiring dengan perkembangan zaman menuntut adanya inovasi dalam produk wisata, termasuk harus berpikir out of the box atau keluar dari paket tur konvensional. Menciptakan produk baru yang relevan menjadi salah satu kunci keberhasilan menarik wisatawan. Misalnya jika kita kaitkan dengan video game, agen perjalanan di Kota Surabaya bisa membuat “Tur Ziarah Nostalgia 90-an” yang terinspirasi dari A Space for the Unbound. Hotel pun bisa menawarkan paket “Gamer Getaway” dengan fasilitas game console di dalam kamar, internet super cepat dan late check-out. Kuncinya adalah melihat gamer sebagai segmen pasar yang serius, bukan sekadar anak-anak yang main game (karena sebenarnya, para gamers sejati justru ‘punya uang’ karena video game itu nggak murah hahaha *menangis melihat isi dompet).
- Game Developers: Salah satu keunggulan kompetitif dalam sebuah game adalah keaslian cerita. Tidak perlu mencoba menjadi The Witcher versi Indonesia. Jadilah DreadOut, jadilah A Space for the Unbound. Gali lebih dalam folklor, sejarah, bahkan mitos urban lokal. Hal tersebut bisa jadi unique selling point yang nggak bisa ditiru oleh developer lain di dunia. Kalau perlu, bisa juga mengaitkan pariwisata secara sengaja di dalam game sekecil apapun itu, misalnya menggunakan lokasi destinasi yang indah sebagai latar cerita, atau hanya sekadar properti lukisan yang muncul di dalam ruangan game.
- Kita sebagai Para Gamers: Kita adalah pasarnya dan kita juga punya kekuatan. Cara paling sederhana adalah dengan mendukung game-game lokal. Beli game mereka, mainkan, dan bicarakan. Suara kita saat digabungkan bisa menciptakan permintaan, memperkenalkan game-game buatan lokal kepada dunia. Permintaan inilah yang pada akhirnya akan mendorong developer untuk terus berkarya dan mendorong pemerintah untuk lebih serius melihat industri ini. Kita adalah beta tester sekaligus evangelist paling efektif untuk fenomena ini.
Kesimpulan
Game-induced tourism adalah bukti bahwa produk digital yang paling sukses adalah yang berhasil menciptakan koneksi atau ikatan emosional. Munculnya keterikatan ini ternyata punya nilai konversi di dunia nyata. Hal ini dapat mengubah cara kita melihat peran seorang developer game. Mereka bukan lagi sekadar kreator, tapi sudah menjadi arsitek pengalaman yang dampaknya bisa meluas ke luar layar.
Bagi industri pariwisata, fenomena video game yang dapat berdampak pada destinasi wisata bisa jadi sebuah inspirasi. Promosi pariwisata kini tidak lagi terbatas pada brosur atau iklan saja. Bisa jadi ada audiens yang sebenarnya berpotensi, namun kita belum melihatnya, salah satunya adalah para gamers.
Untuk bisa memunculkan daya tarik wisata, kita juga perlu mencari tahu apa yang sebenarnya audiens inginkan. Mereka ingin berpartisipasi dalam sebuah cerita? Bukan lagi suatu hal yang mustahil diciptakan. Karena saat ini, para pencerita terbaik di dunia mungkin bukanlah hanya agensi iklan, melainkan studio-studio pengembang video game.
Referensi
[1] Seaton, P., & Yamamura, T. (2015). Japanese Popular Culture and Contents Tourism. Routledge. Buku ini banyak membahas konsep Contents Tourism dan Seichi Junrei (ziarah situs suci) di Jepang, yang menjadi dasar pemahaman pariwisata berbasis konten budaya populer.
[2] Dubois, L. E., & Gibbs, C. (2018). Video game–induced tourism: a new frontier for destination marketers. Tourism Review. Salah satu artikel akademis pionir yang secara formal mendefinisikan dan menganalisis game-induced tourism sebagai bidang studi yang berbeda dari pariwisata terinduksi film.
[3] Dong, J., et al. (2021). How Do Video Games Induce Us to Travel?: Exploring the Drivers, Mechanisms, and Limits of Video Game-Induced Tourism. Dalam Audiovisual Tourism Promotion. Penelitian ini menggali lebih dalam mekanisme psikologis seperti nostalgia dan presence sebagai pendorong utama niat perjalanan yang dimotivasi oleh game.